Skip to main content

Anak kampung di kota Metropolitan

Hidup di kota metropolitan ternyata persis dengan apa yang ane bayangkan. Macet, gedung-gedung menjulang, pemukiman padat. Barangkali memang seperti ini adanya hanya ane saja yang baru menjajaki kota ini.

Rumah. Coba lihat pagar itu, rumah-rumah yang kami lewati ini tak dipinggir jalan. Kenapa mereka memilih membuat pagarnya tinggi-tinggi? Toh kalau cuma pagar tembok, maling pun gampang mau loncat masuk ke dalam. Plus desain gerbang rapat seolah benar-benar menyembunyikan rumah hanya nampak bangunan setengah keatas. Seakan mengatakan "Ini rumahku, ini areaku, masuk sini ijin dulu ya itu disana ada bel samping pintu gerbang"

Macet. Lucu sekali pertama kali ane ke Jakarta diwanti-wanti sama supir taksi kalau Jakarta itu macet. "Kalau hari senin mas lewat sini, harus pagi sekali. Kalau lewat jam 6 pasti macet disini". Beberapa kali ane terjebak macet dan coba tebak berapa orang di dalam mobil-mobil itu? 1-2 penumpang. Kenapa tak motor atau angkutan umum saja?

Komplit. Itu saja keunggulan disini. Semua kebutuhan materi ada disini.

Ah barangkali ane disini, di kota seperti ini, agar ane makin rindu kampung halaman. Agar ane rindu dengan alam bebas. Suasana dimana pagar terbuat dari bambu dan sebatas mempercantik halaman rumah juga itupun terkadang hanya sisa-sisa lomba Agustus-an. Semua orang bebas masuk, pintu rumah dibuka, kata-kata khas "Monggo pinarak..." (Silahkan mampir dulu). Tak ada sekat tak ada blok-blok. Dan itu semua tak butuh materi.

Tapi...


Tak bisa disamakan memang keinginan masing-masing orang. Barangkali mereka nyaman berlama-lama di jalan karena macet. Mereka tak merasa rugi waktu mereka habis di jalan. Barangkali memang materi menjadi syarat kebahagiaan jadi tak salah kan kalau berada disini. Lihat saja itu, mereka ceria sekali membahas tren-tren masa kini. Toh memang seperti ini yang mereka inginkan. Masalah?


Mungkin cuma ane saja yang kampungan mengomentari mereka dan tak sadar tren masa kini.

Haha...

Haha... sama sekali tak masalah. Cuma lihat gambar ilustrasi daerah pedesaan disamping saja saya sudah bahagia. Semua memori terangkat keluar. Tentang kehujanan di sawah, berlari dikejar hujan, lepas sandal agar lebih cepat lari, kemudian tenang bisa ngiyup meski di pinggiran rumah dan itupun masih terkena hujan. Itu pengalaman yang luar biasa. Haha... :D

Bukankah bahagia itu sesederhana kita ridho dengan apa yang ada/terjadi pada diri kita?


Comments

Followers