Satu event yang dimulai dari perkataan seorang Gubernur yang dianggap "Penistaan". Lalu ada dua kubu muncul, pro dan kontra penistaan. Event yang memicu event-event berikutnya dari aksi hingga ajaran agama. Dari yang sembunyi-sembunyi menjadi terang-terangan.
Pro memang merasa itu penistaan maka perlu dihukum. Memaafkan? itu soal yang berbeda. Sederhana saja, seorang mungkin bisa memaafkan pelaku pembunuhan saudaranya tapi apakah selesai begitu saja? tidak diproses sama sekali? Coba yang dibunuh adalah ayah/ibu? tak diproses?
Kontra sepertinya merasa bahwa itu hanya kepleset kata-kata saja atau sama sekali tak ada niatan menista maka tak perlu dihukum. Entahlah..
Apa yang dibawa?
Lihatlah apa yang dibawa kedua kubu ini untuk mendukung idenya. Pro didasarkan pada ucapan yang faktanya ada didukung fatwa lembaga agama Islam negeri ini juga kisah masa lalu hukum negeri ini.
Kontra sepertinya didasarkan pada "niat sang Gubernur". Selain anggapan penistaan ini untuk menggugurkan sang Gubernur menjadi calon (benar-tidak pun bukan ini permasalahannya), Fakta apa yang disajikan?
- sang Gubernur menangis di persidangan
- sang Gubernur membangun masjid
- sang Gubernur memiliki kepemimpinan tegas, anti korupsi, "patuh" aturan
- sang Gubernur memiliki keluarga yang "taat" ajaran Islam
- sang Gubernur dipeluk oleh keluarga angkatnya dengan wajah sedih
- sang Gubernur meng-umroh/haji-kan orang-orang
- Perwakilan kota yang dipimpinnya menghasilkan juara lomba bertema Islam tingkat nasional
Pendukung
Lalu dengan alasan-alasan tersebut kubu-kubu inipun semakin menarik pendukungnya. Kubu Pro saya pribadi masuk akal untuk didukung karena didasari oleh lembaga agama Islam negeri ini dan dicerna saja kalimat "Jangan mau dibohongi pakai Al-Quran" itu penghinaan karena benar yang disampaikan Al-Quran/ulama, kalaupun ada perbedaan pendapat bukan kapasitas sang Gubernur membicarakannya.
Kubu kontra saya masih tak habis pikir dari mempermasalahkan kata "pakai" padahal bukan itu intinya, Disajikan fakta-fakta diatas lalu seakan mati-matian mendukung sang Gubernur. Padahal apa yang disajikan? Hanya prestasi/kebaikan. Memangnya dengan berprestasi jadi kebal hukum? Ekstrimnya seorang kyai/presiden lalu boleh membunuh misalnya? Punya keluarga "taat" Islam lalu penistaan otomatis menjadi tak mungkin? Bagaimana Abu Lahab paman Rasulullah, tapi memusuhi Islam?. Berbicara sambil menangis lalu semua ucapannya menjadi kebenaran? Logika-logika apa ini? Isi/tujuannya apa? Apakah untuk memperkuat "niatan baik"? Jadi kalau ada yang melakukan kejahatan apapun itu cukup dengan mengemukakan hal tersebut diatas dengan alasan "niatan baik" jadi selesai masalah? Mencuri dari si kaya karena ia miskin, membunuh karena dihina, membunuh karena diejek, menghina ajaran agama lain lalu minta maaf alasan khilaf?
Niat
Sederhana saja adakah seseorang dihukum karena "Niat buruk"? ataukah ia dihukum karena "Fakta perbuatan/perkataan" yang ia lakukan? Lalu kenapa memperkuat alasan niat?. Saya tak mengerti hukum. Entahlah siapa tahu dalam hukum ada aturan tentang "niat" ini atau sebenarnya mereka tau ini penistaan hanya meminta keringanan saja. Saya coba baca pasal mengenai penistaan ini (tentunya dengan pemahaman minim saya) rasa-rasanya tidak begitu jelas menerangkan maksud penistaan. Pesimis memang, tapi berpendapat apapun bukan kapasitas saya.
Sedih
Sudahlah.. hanya pendapat pribadi. Pun hanya saya sekadar mengamati. Sedih melihat kawan sendiri saling berselisih. Sedih melihat tangisan jadi dasar keberpihakan. Sedih tersaji prestasi lantas mengikut begitu saja. Mudah sekali bukan kalau kelak ada orang yang memanfaatkan "kemudahan" ini? Bagaimana kalau disajikan penderitaan lalu ayat tentang jihad digunakan dan dipaparkan balasan di akhirat lalu ia disuruh bom bunuh diri? Disampaikan dengan penuh emosi, menangis-nangis? sementara ilmu larangan bunuh diri tak pernah dipelajari? Mereka memanfaatkan rasa "belas kasihan"?
Maaf
Maaf diatas menggunakan contoh ekstrim pembunuhan, bom bunuh diri dan sebagainya, hanya agar membantu pemahaman saja karena anggapan penistaan ini bukan dari individu namun fatwa lembaga. Kalau lembaga negeri ini sudah tak didengar, akankah hanya mendengar/patuh pada lembaga yang sepemikiran saja? Sebatas itukah nilai lembaga agama Islam negeri ini (yang didalamnya orang-orang alim) disandingkan dengan pendapat pribadi? disandingkan dengan keinginan pribadi? okelah sang Gubernur bagus tapi apa lalu seperti ini? mengorbankan aturan? seperti halnya anak kecil yang meminta sang ayah tak pergi bekerja karena masih ingin lama bermain.
Akhirnya, benar sampai kapanpun akan tetap benar meski semua orang mengatakan salah, salah mau bagaimanapun hanya akan mentok menjadi kelihatan benar tak pernah menjadi benar. Which side are you?
Sudahlah.. hanya pendapat pribadi. Pun hanya saya sekadar mengamati. Sedih melihat kawan sendiri saling berselisih. Sedih melihat tangisan jadi dasar keberpihakan. Sedih tersaji prestasi lantas mengikut begitu saja. Mudah sekali bukan kalau kelak ada orang yang memanfaatkan "kemudahan" ini? Bagaimana kalau disajikan penderitaan lalu ayat tentang jihad digunakan dan dipaparkan balasan di akhirat lalu ia disuruh bom bunuh diri? Disampaikan dengan penuh emosi, menangis-nangis? sementara ilmu larangan bunuh diri tak pernah dipelajari? Mereka memanfaatkan rasa "belas kasihan"?
Maaf
Maaf diatas menggunakan contoh ekstrim pembunuhan, bom bunuh diri dan sebagainya, hanya agar membantu pemahaman saja karena anggapan penistaan ini bukan dari individu namun fatwa lembaga. Kalau lembaga negeri ini sudah tak didengar, akankah hanya mendengar/patuh pada lembaga yang sepemikiran saja? Sebatas itukah nilai lembaga agama Islam negeri ini (yang didalamnya orang-orang alim) disandingkan dengan pendapat pribadi? disandingkan dengan keinginan pribadi? okelah sang Gubernur bagus tapi apa lalu seperti ini? mengorbankan aturan? seperti halnya anak kecil yang meminta sang ayah tak pergi bekerja karena masih ingin lama bermain.
Akhirnya, benar sampai kapanpun akan tetap benar meski semua orang mengatakan salah, salah mau bagaimanapun hanya akan mentok menjadi kelihatan benar tak pernah menjadi benar. Which side are you?
Comments
Post a Comment