Skip to main content

Kacamata Konspirasi

Baru-baru ini ada berita bendera Palestina dikibarkan di Gedung PBB sebagai simbol diakuinya Palestina sebagai negara pengamat non anggota. Hasil tersebut merupakan hasil voting. 

Bagaimana reaksi orang-orang mendengarnya?

Ternyata beragam. Saya kira akan serupa seperti halnya saya sendiri yang mendengar hal tersebut seketika merasa senang. Ada yang mendengar berita tersebut memilih untuk berprasangka "Ada apa ini?", mereka juga sama-sama muslim. Memang tak masalah dengan prasangka tersebut, tapi bagi saya sendiri kok terlalu berlebihan. Ini mirip dengan teori-teori konspirasi yang penuh prasangka dan fakta yang di-cocok-cocok-an untuk mendukungnya.

Lebih jelasnya saya berikan contoh sederhana:

Faktanya adalah: Saya makan bakso

Reaksi yang timbul:
1. Oh... dia lapar
2. Dia lapar sudah jelas, tapi mengapa bakso? kenapa bukan nasi padang? Ada apa ini? Jangan-jangan dia memiliki hubungan kekerabatan dengan tukang bakso. Atau.. ada agenda lain sehingga dia memilih bakso sementara ada nasi padang yang letaknya lebih dekat.

Lihat bagaimana dua pendapat diatas? Pendapat pertama menilai apa yang terjadi dengan sederhana. Pendapat kedua menilai hal sederhana menjadi terlihat rumit penuh konspirasi. Memang itu tak mewakili pengibaran bendera Palestina ini, hanya sekadar contoh ragam pendapat yang keluar dari fakta yang sama.

Ada yang mengomentari pengibaran bendera ini tak mengubah apapun atau lain sebagainya, mereka ingin lebih dari itu. Reaksinya biasa saja. Ada yang menilai diakuinya Palestina ini merupakan kemajuan meski tak merubah langsung keadaan tapi ini adalah langkah yang positif. Tetap menginginkan lebih dari sekadar pengibaran bendera, tapi semoga dengan pengakuan ini kedepannya menjadi lebih baik. Nah, pada dasarnya dua pendapat itu sama-sama menginginkan lebih. Tapi yang satu melihat dengan kacamata konspirasi. Energi dan pikirannya digunakan untuk hal-hal seperti itu. Yang satu tetap berpikiran positif. padahal keduanya masih menginginkan lebih.

Menjadi perhatian bagi saya adalah kok kayaknya sayang kalau pikiran diisi dengan hal-hal semaacam itu. Apa tidak berpotensi bahaya menjadi kufur nikmat? Misal saya ingin uang Rp.1.000.000,- kemudian saya diberi Rp10.000,- karena seringnya mengabaikan hal kecil kemudian uang Rp.10.000 menjadi tak penting, tak bernilai bagi saya dibandingkan dengan Rp.1.000.000,-. Padahal kan dikasih 10.000 Alhamdulillah, 1.000 alhamdulillah, berapapun Alhamdulillah... 

Comments

Followers